ISLAM NUSANTARA (NU) DAN ISLAM BERKEMAJUAN (MUHAMMADIYAH)
PERBEDAAN
ANTARA
ISLAM
NUSANTARA DAN ISLAM BERKEMAJUAN
Oleh
Noor Chozin Agham
Dua
organisasi Islam terbesar (dalam aspek yang berbeda) yaitu Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama (NU), awal Agustus 2015 ini akan menggelar walimah akbarnya
(Muktamar) masing-masing di tempat yang berbeda; NU di Surabaya dan
Muhammadiyah di Makassar. Agenda (issue) menarik dalam muktamar yang ada
kaitannya dengan ke-NKRI-an; NU mengusung istilah (dan konsep) Islam Nusantara, sedangkan Muhammadiyah
telah dan akan terus menggelindingkan pemaknaan Islam Berkemajuan.
Islam
Nusantara, muncul ke permukaan dari kalangan NU pertama kali pada tahun
1980-an, sebagai respons dari istilah Islam
Transnasional yang dirilis kalangan intelejen sebagai bentuk kewaspadaan
terhadap gerakan organisasi/massa Islam bergaris keras yang menolak asas
tunggal Pancasila (yang umumnya mewarnai ormas Islam yang mengadobsi ideologi gerakan
Islam Negara sahabat – misalnya – Revolusi Islam Imam Khomeini di Iran dan Ikhwanul
Muslimin di Mesir), yang ketika itu almarhum Gus Dur (rahimahullah) merespons
transnasional dengan memplesetkan organisasi Islam NU dengan Islam NUsantara (kini diabadikan antara lain
di Kota Tangerang ada sekolah tinggi yang didirikan kaum Nahdhiyin dengan nama
STAI NUsantara – bertetangga dengan
UMT; Universitas Muhammadiyah Tangerang). Artinya, menurut Gus Dur, pemerintah
(dhi intelejen) tidak perlu mencurigai NU, sebab NU dengan sendirinya sudah
menjadikan keluarga besarnya sebagai jam’iyah Islam NUsantara.
Di
sisi lain – masih pada era 1980-an – Muhammadiyah seolah dicap sebagai Islam
bukan nusantara, sekaligus sebagai bagian dari gerakan Islam transnasional
karena ditengarai mengadobsi gerakan pembaruan Islam yang menggaung di luar
nusantara, misalnya di Arab Saudi yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahhab
(dari rivalnya memunculkan istilah Wahabi) dan di Mesir yang disetir Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha (belakangan rivalnya menyebut Abduhisme). Berbeda dengan
NU yang memang kelahirannya – mau tidak mau – dapat dikategorikan sebagai
respons-reaktif dari para Kyai nusantara atas kelahiran Muhammadiyah. Dari segi
pemaknaan, Nahdhatul ‘Ulama, kebangkitan para Ulama (kyai), menunjukkan bahwa
para ulama (kyai) bangkit tentu karena ada bahkan banyak hal yang merasa diganggu
atau terganggu oleh gerakan dakwah Muhammadiyah yang lahir dan berkembang lebih
dahulu. Tidak heran kalau kemudian hingga kini, hubungan (ukhuwah) antara NU
dengan Muhammadiyah – secara diam-diam – sesungguhnya masih menganga lebar sekali.
Secara embriotik, Islam Nusantara sesungguhnya
dapat ditelusuri sejak ada gerakan dakwah Islam yang dilakukan para wali
khususnya Walisongo (1. Maulana Malik Ibrahim. 2.Sunan Ampel. 3. Sunan Bonang,
4. Sunan Drajat, 5. Sunan Giri, 6. Sunan Kudus, 7. Sunan Muria, 8. Sunan Gunung
Jati, dan 9. Sunan Kalijaga). Seperti tercatat dalam sejarah, bahwa masyarakat
nusantara jauh sebelum ada para wali tersebut telah menganut agama Hindu dan
Budha. Dakwah para wali dengan strategi kulturalnya telah berhasil mewarnai
budaya Hindu dan Budha dengan baju Islam. Misalnya, bila ada kematian
seseorang. kebiasaan masyarakat Hindu-Budha kala itu senantiasa mengadakan
upacara ritual di rumah duka selama seminggu, setelah 40 hari, 100 hari, dan
mendak (1000 hari). Oleh para wali, upacara ritual tersebut tidak dihilangkan,
melainkan tetap dilestarikan dengan mengganti secara berangsur isi atau
mantera-mantera yang dibacanya yang kemudian disebut dengan acara tahlilan. Begitu pula yang terjadi pada
saat kehamilan (hamil), masyarakat Hindu-Budha melakukan upacara ritual pada
usia kehamilan telah mencapai 40 hari. mencapai 7 bulan, dan pada saat
kelahiran, oleh para wali budaya peringatan usia kehamilan tidak dihilangkan,
melainkan hanya mengganti mantera-manteranya dengan bacaan-bacaan shalawat yang
disebut dengan marhabanan.
Secara
demikian, berarti alur dan model dakwah Islam Nusantara telah menempatkan Islam
sebagai kebutuhan skunder yang lebih dekat dengan assesories. Realitasnya,
seperti contoh di atas, bahwa budaya nusantara atau budaya lokal, lebih
tepatnya yaitu budaya Hindu/Budha diakomodasi, dikonservasi, lalu diwarnai
dengan simbol-simbol Islam. Dengan kata lain, dalam konsep dasar Islam
Nusantara, telah menempatkan budaya lokal sebagai kebutuhan primer, dan Islam
sebagai kebutuhan skunder, yang berarti pula tujuan dakwah Islam Nusantara yaitu Indonesian
Islamic (Islam gaya Indonesia), bukan Islamic
Indonesia (Indonesia yang Islamy) yang menempatkan Islam sebagai kebutuhan
primer dan budaya sebagai kebutuhan skunder.
Yang
disebut terakhir tadi, yakni Islamic
Indonesia, atau Indonesia yang Islamy, yang menempatkan budaya lokal sebagai
kebutuhan skunder, itulah tujuan dakwah Islam berkemajuan yang digelindingkan Muhammadiyah
sejak tahun (1912) kelahirannya, yang pada Muktamar Muhammadiyah ke-47, 3-7
Agustus 2015 di Makassar nanti mengusung tema Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan. Tema ini dapat
dimaknai dengan Islam Berkemajuan Menuju
Indonesia Berkemajuan. Pertanyaannya, apa dan bagaimana yang dimaksud Islam
Berkemajuan yang dapat melahirkan Indonesia berkemajuan? Sebagai jawabannya, kebetulan,
penulis telah menulis buku Islam
Berkemajuan Gaya Muhammadiyah – Telaah terhadap Akidah, Akhlak, Ibadah, dan
Muamalah Duniawiyah (Uhamka Press, Jakarta, 2015).
Islam
Berkemajuan yang terdapat dalam buku tersebut, yaitu uraian panjang dalam
memaknai Islam. Singkatnya, Islam menurut Muhammadiyah mengandung dua dimensi
absolute yang tak dapat dibantah-pisahkan, yaitu Islam sebagai ad-Din (agama), dan Islam sebagai syari’ah (ajaran). Sebagai agama, Islam adalah
agama yang diwahyukan Allah Swt. sejak Nabi Adam a.s. hingga Muhammad Saw.
Artinya, semua agama yang dibawa oleh para Nabi (termasuk Nabi-nabi yang tidak
tercantum dalam al-Qur’an, boleh jadi termasuk Kong Hoe Choe, Hindu, Budha, Katholik,
dan Protestan) pada prinsipnya semua adalah pembawa dan penganut agama damai (Islam)
yang bertugas mendamai-makmurkan dunia atau alam semesta. Sedangkan Islam
sebagai syari’ah (ajaran/ritual), yaitu Islam yang hanya diwahyukan (dan
pelaksanaannya dicontoh-teladankan) kepada Nabi Muhammad Saw.. (Noor Chozin
Agham, 2015: 11-45). Konsekuensi logis dari pemahaman Muhammadiyah tentang Islam
ini, sangat sah kalau kemudian Muhammadiyah menempatkan semua agama adalah
sama, sama-sama prinsip dan merupakan kebutuhan primer bagi para pemeluknya,
dan menempatkan budaya lokal sebagai kebutuhan skunder, sehingga dengan
demikian kemurnian ajaran masing-masing agama terjaga, terhindar dari proses mistisasi,
akulturasi dan sinkritisasi []
___________________________
Noor
Chozin Agham, dosen senior Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA),
dan penulis buku Islam Berkemajuan Gaya
Muhammadiyah…
Komentar
Posting Komentar